
Darah Sang Pemimpin
oleh Lita Rosita
Anggota KPU Kabupaten Lebak, Divisi Teknis Penyelenggaraan
“Sejarah tak akan pernah mencatat mereka yang tak pernah sungguh-sungguh dalam mengisi perjalanan sejarahnya.”
Dari kutipan di atas kita bisa menarik makna secara sederhana seperti, untuk menjadi manusia itu tidak tergantung atau mengandalkan dari keturunan. Dan arti lain, siapa pun yang menjadi pelaku di kehidupan sebelumnya dengan menorehkan jejak baik atau buruk, akan menjadi riwayat/babad/kisah/cerita/asal usul, pada kehidupan selanjutnya. Tak pelaknya seorang pemimpin, akan tercatatkan dari masa ke masa.
Dalam sebuah tulisan “Pohon Kepemimpinan” karya Karim Suryadi (kolumnis Pikiran Rakyat, Guru Besar Komunikasi Politik, UPI Bandung) mengisahkan seorang ayah tatkala mengetahui cita-cita sang anak menjadi seorang demang (bupati). Maka sang ayah tidak hanya mengajari anaknya tentang baca tulis, namun ia memasukannya ke pesantren, karena ingin memberikan dasar-dasar keyakinan agama sebagai alat untuk mengendalikan hawa nafsu. Pada umumnya, penguasa suka lupa diri dan tak mau kalah. Pada keluarga “trah menak” sejati, menempatkan pendidikan karakter sebagai hal mendasar. Karakter diibaratkan sebagai pohon kepemimpinan, di mana pohon tersebut berakar pada nilai-nilai agama dan memiliki tiga dahan, yakni: masing-masing kepemimpinan, kemampuan manajerial, dan keterampilan komunikatif (Portal Berita UPI Bandung, 21/2/2017).
Kepemimpinan merupakan salah satu cara untuk mempengaruhi orang lain sehingga dengan sukarela mau melaksanakan kegiatan bersama dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Maka, jika seseorang menduduki suatu posisi maka ia akan memimpin dalam melakukan pekerjaan. Menurut Kartini Kartono, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Sedangkan Dr. Phil. Astrid S. Susanto mendefinisikan pemimpin adalah orang yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap sekelompok orang banyak.
Pemimpin itu seseorang yang selalu berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai karakteristik, baik dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Hanya orang yang berjiwa besar yang sanggup menjadi pemimpin. Karena, menjadi seorang pemimpin tidak semudah apa yang dibayangkan. Diperlukan mental yang kuat karena berani menanggung malu dan dosa pada setiap kesalahan yang telah dilakukan.
Menjadi seorang pemimpin tidaklah pula bimsalabim, namun terdapat proses. Menyoroti kepemimpinan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di Indonesia terdapat tahapan, jadwal, dan program yang harus diikuti. Sejak dimulainya pemilihan kepala daerah secara langsung, hadir raja-raja kecil di daerah dengan gurita kekuasaannya. Riak dan intrik seringkali menghiasi perjalanan kepemimpinannya karena dianggap kental dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Rumpun (Keturunan)
Munculnya dinasti politik karena adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan, juga terdapat kelompok terorganisir membuat kesepakatan/kebersamaan sehingga terbentuklah penguasa dan pengikut. Demikian pula adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi, maka akan berdampak terhadap pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal yang mengakibatkan korupsi.
Pertalian di antara calon dan seorang tokoh sering menjadi senjata dalam proses pemilihan. Begitu juga bayang-bayang mantan pejabat dan yang masih menjabat hadir menjadi tameng kekuatan. Kecintaan dan kekaguman terhadap seorang tokoh menjadi fanatik bagi para pengikutnya sebagai misi dalam menguatkan dukungan. Pun dengan pencitraan yang dilakukan para mantan pejabat kembali diungkap di saat ia menjabat, dengan mengingatkan kembali kepada publik hasil kerja selama memimpin, tentunya diinformasikan yang baik-baik saja seolah tanpa cela. Maka, akan terbentuk opini masyarakat bahwa buah tak akan jauh dari pohonnya. Begitulah salah satu trik mereka menarik massa. Namun sebaliknya dengan calon yang berdiri sendiri tanpa ada tameng dibelakangnya.
Dengan politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten dapat menduduki kekuasaan, dan bisa terjadi orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita memajukan daerah tidak terealistiskan karena pemimpin atau pejabat tidak mempunyai kapasitas dalam menjalankan tugas. Dulu, pewaris ditunjuk langsung, namun sekarang lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite masuk isntitusi yang disiapkan yaitu partai politik. Istilah patrimonialistik atau jabatan dan susunan birokrasi yang didasarkan pada hubungan personal atau pribadi, menjadi terselubung oleh jalur prosedural pada dinasti politik. Semakin maraknya praktek ini mengakibatkan proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau mandek.
Apabila politik dinasti diteruskan akan menjadikan partai sebagai mesin politik. Menghambat fungsi partai yang sebenarnya sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan untuk meraih kemenangan. Di sisi lain muncul para pemimpin secara instan tidak melalui proses kaderisasi, contoh: kalangan selebriti dan pengusaha. Tertutupnya kesempatan masyarakat kader handal dan berkualitas untuk mengikuti kontestasi, karena roda kekuasaan partai berputar dikalangan elit dan pengusaha. Maka, muncul kepentingan dalam menjalankan tugas/pekerjaan. Dengan politik dinasti kontrol kekuasaan pun melemah dan tidak berjalan efektif.
Akibat dari politik dinasti ini, banyak pemimpin daerah menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan. Berpeluang sangat besar jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi di berbagai lini, seperti: sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD. Sulit mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).
Masih hangat dalam ingatan, tahun 2020 lalu bangsa ini baru saja melaksanakan pemilihan secara serentak untuk 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Mereka yang berhasil memenangkan pemilihan terdapat beberapa yang berasal dari ikatan atau pertalian emosional dengan para pejabat, tokoh, juga politisi, dan bukan lagi menjadi rahasia umum. Namun tak sedikit pula yang berjalan sendiri tanpa campur tangan pertalian
Pemimpin yang arif dan bijak adalah dambaan setiap masyarakat, maka untuk mewujudkannya para pemilih meski cerdas menyikapi setiap perkembangan yang terjadi di saat seluruh tahapan pemilihan dilakukan dari awal sampi akhir. Masyarakat hendaknya bersama-sama mengawal demokrasi agar selaras dengan asas dan tak cedera.
Semua anak bangsa bebas berkiprah dan mengabdi secara wajar dan objektif tanpa perbedaan keturunan, juga suku bangsa, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI). Dan, mempunyai hak yang sama di depan hukum untuk menduduki suatu jabatan. Dengan demikian, dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di negara kita, sebab Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.
Tak harus biru darah untuk menjadi seorang pemimpin, namun sejatinya ia seorang yang mempunyai tanggungjawab untuk daerah yang dipimpinnya. Lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingna pribadi dan golongan. (*)