Opini

384

Kewaijban Sipol Bagi Parpol Peserta Pemilu

oleh: Indra Gunawan Anggota KPU Kabupaten Malinau Divisi Teknis Penyelenggaraan Sistem demokrasi di negara kita menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat.  Sedangkan pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Untuk dapat menjadi wakil rakyat atau menjadi presiden dan wakil presiden harus mengikuti mekanisme pencalonan melalui partai politik. Dan sebaliknya, agar dapat mengusulkan calon legislatif, partai politik harus memenuhi syarat sebagai peserta pemilu dan baru dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden setelah memiliki kursi (wakil) di DPR RI hasil pemilu sebelumnya.  Partai politik memiliki peran sentral dalam sistem demokrasi di Indonesia.  Mainstream dalam pemilu adalah partai politik. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur dengan jelas dan rinci terkait partai politik peserta pemilu.  Untuk menjadi peserta pemilu, parpol harus memenuhi/ lulus verifikasi persyaratan. Lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan verifikasi persyaratan dan menetapkan Partai Politik peserta pemilu adalah KPU.  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa KPU memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan dan menjaga demokrasi dan kedaulatan rakyat di Indonesia. Dalam menyelenggarakan pemilu, KPU bukan saja harus dapat melaksanakan pemilu yang berasas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, tetapi penyelenggaranya juga harus memenuhi prinsip-prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efesien. Dalam tataran teknis penyelenggaraan pemilu, kegiatan verifikasi persyaratan parpol peserta pemilu yang meliputi penelitian administrasi dan keabsahan persyaratan peserta pemilu tidaklah mudah, bahkan bisa dikatakan sangat rumit. Verifikasi bukan saja meneliti kelengkapan dan keabsahan   dokumen persyaratan Parpol tetapi juga melakukan verifikasi terhadap dugaan keanggotaan ganda Parpol dan keanggotaan Parpol yang tidak memenuhi syarat.  Oleh karena itu pelaksanaan verifikasi harus dilakukan secara cermat dan akurat sehingga parpol yang telah  ditetapkan sebagai peserta pemilu merupakan Partai Politik  yang memang benar-benar  telah memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu. Pada kenyataannya, untuk mencapai cermat dan akurat tidaklah mudah jika verifikasi dilaksanakan secara manual tanpa menggunakan alat bantu. Hal ini karena dokumen/data yang diverifikasi jumlahnya sangat banyak.  Pada pemilu tahun 2019, terdapat 27 Partai Politik yang mengajukan sebagai peserta pemilu.  Setiap Parpol wajib memiliki kepengurusan di 34 provinsi, memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dan memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, serta memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan Parpol tingkat kabupaten/kota. Sebagai ilustrasi, jika dalam satu kabupaten terdapat 1 juta penduduk maka jumlah anggota Parpol yang harus dimiliki di kabupaten tersebut sekurang-kurangnya adalah 1000 orang.  Jika terdapat 27 Partai Politik maka dalam kabupaten tersebut terdapat 27.000 orang sebagai anggota Parpol yang dilakukan verifikasi. Ilustrasi ini baru sebatas jumlah anggota Parpol, belum termasuk kepengurusan Parpol maupun persyaratan lain yang juga harus diverifikasi. Bagaimana dengan verifikasi dalam satu provinsi ataupun secara nasional (34 provinsi), tentu jumlah datanya jauh lebih besar lagi. Pelaksanaan verifikasi persyaratan Parpol peserta pemilu jika dilakukan tanpa alat bantu,  hasilnya bisa tidak akurat, tidak transparan dan tidak ada kontrol. Sangat tergantung  oleh verifikator yang juga memiliki keterbatasan.  Partai politik yang sejatinya tidak memenuhi persyaratan bisa saja lolos sebagai peserta pemilu. Jika ini terjadi maka KPU sebagai penyelenggara telah melanggar prinsip adil, berkepastian hukum, tertib, profesional dan akuntabel. Untuk mengurai kerumitan dalam verifikasi persyaratan Partai Politik peserta pemilu, KPU dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya, sarana dan prasarana yang ada dalam mendukung kerja penyelenggaraan pemilu.  Salah satunya adalah memanfaatkan system aplikasi berbasis teknologi informasi yang dapat menjadi alat bantu bagi KPU dan Parpol peserta pemilu pada saat tahapan pendaftaran dan verifikasi persyaratan Parpol peserta pemilu. Teknologi informasi yang digunakan tersebut dikenal dengan nama Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL).  Dalam sistem tersebut memuat informasi, antara lain SK kepengurusan Parpol, rekapitulasi Parpol, kelengkapan dokumen parpol, sebaran pengurus, data pengurus parpol dan data keanggotaan Parpol. Selain itu, sistem aplikasi ini dapat mendeteksi kegandaan anggota parpol maupun anggota parpol yang tidak memenuhi syarat. Penggunaan Sipol sejatinya merupakan pengejawantahan dari Pasal 174 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 dalam menetapkan tata cara penelitian administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan parpol peserta pemilu. Pada pasal tersebut secara eksplisit memang tidak menyebutkan penggunaan Sipol tetapi memberikan ruang penggunaan Sipol yang diatur dalam Peraturan KPU. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan Sipol sangat membantu kerja penyelenggara pemilu pada saat proses pendaftaran dan verifikasi  persyaratan parpol peserta pemilu. Sedangkan manfaat Sipol bagi Parpol   dapat menjadi alat bantu dalam mengukur kesiapan Parpol dalam menyediakan dokumen persyaratan yang dibutuhkan pada saat pendaftaran. Manfaat lain adanya penggunaan Sipol mendorong terjadinya konsolidasi internal parpol  antara pusat dan di daerah untuk mewujudkan tertib administrasi dan tertib pendataan. Hal ini selaras dengan kewajiban parpol untuk memelihara ketertiban data anggota (UU No 2 Tahun 2008 Pasal 13 huruf (g) tentang partai politik). Atas dasar pertimbangan ini pada pemilu tahun 2019, KPU menetapkan kewajiban menggunakan Sipol bagi Parpol yang akan mendaftar sebagai peserta pemilu. Kewajiban penggunaan Sipol tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan bagi setiap parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu.  Kompetisi yang fair play. Sehingga tidak ada parpol yang dengan sengaja tidak mau menggunakan Sipol agar persyaratan yang belum lengkap atau tidak memenuhi syarat tidak dapat terdekteksi sehingga dapat lolos sebagai peserta pemilu. Penggunaan Sipol pada pemilu 2019 telah menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak. Meskipun Sipol terbukti memberikan manfaat dalam proses pendaftaran dan verifikasi, namun terdapat juga yang menolak penggunaan  Sipol karena tidak diatur dalam UU No. 7 tahun 2017 sehingga dianggap bertentangan dengan undang-undang. Klimaksnya ketika Bawaslu menerima pengaduan 9 Parpol yang dinyatakan KPU gagal dalam proses pendaftaran Parpol peserta pemilu dan memutuskan/memerintahkan kepada KPU agar memproses kembali pendaftaran 9 parpol tersebut. Putusan Bawaslu tersebut menurut pendapat Penulis bukan menjadi alasan untuk menghapus penggunaan Sipol.  Tetapi lebih menjadi bahan evaluasi bagi KPU terhadap penggunaan Sipol agar lebih baik lagi sehingga dapat digunakan dan diterima oleh semua Parpol peserta pemilu. Jika Sipol ditiadakan sama saja dengan kemunduran demokrasi. Hasil kerja verifikasi persyaratan Parpol oleh Penyelenggara akan diragukan kebenarannya, karena mustahil akurat jika data yang diverifikasi jumlahnya ratusan ribu atau bahkan jutaan. Tahun 2022 adalah tahun bagi Partai Politik untuk mendaftarkan diri menjadi peserta pemilu serentak tahun 2024.  Saat ini KPU sedang menyiapkan regulasi teknis serta sarana dan prasarana terkait penggunaan Sipol.  Permasalahan penggunaan  Sipol  seperti gangguan server, waktu input data ke Sipol  oleh Parpol yang terbatas, implementasi penggunaan SIPOL yang kurang dipahami Parpol dan lain-lain telah dipetakan dan dicari solusinya sehingga penggunaan Sipol nantinya dapat diterima oleh semua pihak.   Sejatinya Sipol adalah alat bantu bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu dan Partai Politik sebagai peserta pemilu sehingga pemilu dapat dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, efektif dan efesien.  Kewajiban penggunaan Sipol tidak dimaksudkan untuk bertentangan dengan undang-undang pemilu. Sipol hadir untuk turut mewujudkan demokrasi di Indonesia yang lebih baik, yang merupakan cita-cita dari undang-undang pemilu itu sendiri. (*)


Selengkapnya
404

Darah Sang Pemimpin

oleh Lita Rosita Anggota KPU Kabupaten Lebak, Divisi Teknis Penyelenggaraan “Sejarah tak akan pernah mencatat mereka yang tak pernah sungguh-sungguh dalam mengisi perjalanan sejarahnya.” Dari kutipan di atas kita bisa menarik makna secara sederhana seperti, untuk menjadi manusia itu tidak tergantung atau mengandalkan dari keturunan. Dan arti lain, siapa pun yang menjadi pelaku di kehidupan sebelumnya dengan menorehkan jejak baik atau buruk, akan menjadi riwayat/babad/kisah/cerita/asal usul, pada kehidupan selanjutnya. Tak pelaknya seorang pemimpin, akan tercatatkan dari masa ke masa. Dalam sebuah tulisan “Pohon Kepemimpinan” karya Karim Suryadi (kolumnis Pikiran Rakyat, Guru Besar Komunikasi Politik, UPI Bandung) mengisahkan seorang ayah tatkala mengetahui cita-cita sang anak menjadi seorang demang (bupati). Maka sang ayah tidak hanya mengajari anaknya tentang baca tulis, namun ia memasukannya ke pesantren, karena ingin memberikan dasar-dasar keyakinan agama sebagai alat untuk mengendalikan hawa nafsu. Pada umumnya, penguasa suka lupa diri dan tak mau kalah. Pada keluarga “trah menak” sejati, menempatkan pendidikan karakter sebagai hal mendasar. Karakter diibaratkan sebagai pohon kepemimpinan, di mana pohon tersebut berakar pada nilai-nilai agama dan memiliki tiga dahan, yakni: masing-masing kepemimpinan, kemampuan manajerial, dan keterampilan komunikatif (Portal Berita UPI Bandung, 21/2/2017). Kepemimpinan merupakan salah satu cara untuk mempengaruhi orang lain sehingga dengan sukarela mau melaksanakan kegiatan bersama dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  Maka, jika seseorang menduduki suatu posisi maka ia akan memimpin dalam melakukan pekerjaan. Menurut Kartini Kartono, pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Sedangkan Dr. Phil. Astrid S. Susanto mendefinisikan pemimpin adalah orang yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap sekelompok orang banyak. Pemimpin itu seseorang yang selalu berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai karakteristik, baik dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Hanya orang yang berjiwa besar yang sanggup menjadi pemimpin. Karena, menjadi seorang pemimpin tidak semudah apa yang dibayangkan. Diperlukan mental yang kuat karena berani menanggung malu dan dosa pada setiap kesalahan yang telah dilakukan. Menjadi seorang pemimpin tidaklah pula bimsalabim, namun terdapat proses. Menyoroti kepemimpinan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di Indonesia terdapat tahapan, jadwal, dan program yang harus diikuti. Sejak dimulainya pemilihan kepala daerah secara langsung, hadir raja-raja kecil di daerah dengan gurita kekuasaannya. Riak dan intrik seringkali menghiasi perjalanan kepemimpinannya karena dianggap kental dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Rumpun (Keturunan) Munculnya dinasti politik karena adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan, juga terdapat kelompok terorganisir membuat kesepakatan/kebersamaan sehingga terbentuklah penguasa dan pengikut. Demikian pula adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi, maka akan berdampak terhadap pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal yang mengakibatkan korupsi. Pertalian di antara calon dan seorang tokoh sering menjadi senjata dalam proses pemilihan. Begitu juga bayang-bayang mantan pejabat dan yang masih menjabat hadir menjadi tameng kekuatan. Kecintaan dan kekaguman terhadap seorang tokoh menjadi fanatik bagi para pengikutnya sebagai misi dalam menguatkan dukungan. Pun dengan pencitraan yang dilakukan para mantan pejabat kembali diungkap di saat ia menjabat, dengan mengingatkan kembali kepada publik hasil kerja selama memimpin, tentunya diinformasikan yang baik-baik saja seolah tanpa cela. Maka, akan terbentuk opini masyarakat bahwa buah tak akan jauh dari pohonnya. Begitulah salah satu trik mereka menarik massa. Namun sebaliknya dengan calon yang berdiri sendiri tanpa ada tameng dibelakangnya. Dengan politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten dapat menduduki kekuasaan, dan bisa terjadi orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita memajukan daerah tidak terealistiskan karena pemimpin atau pejabat tidak mempunyai kapasitas dalam menjalankan tugas. Dulu, pewaris ditunjuk langsung, namun sekarang lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite masuk isntitusi yang disiapkan yaitu partai politik. Istilah patrimonialistik atau jabatan dan susunan birokrasi yang didasarkan pada hubungan personal atau pribadi, menjadi terselubung oleh jalur prosedural pada dinasti politik. Semakin maraknya praktek ini mengakibatkan proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau mandek. Apabila politik dinasti diteruskan akan menjadikan partai sebagai mesin politik. Menghambat fungsi partai yang sebenarnya sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Rekrutmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan untuk meraih kemenangan. Di sisi lain muncul para pemimpin secara instan tidak melalui proses kaderisasi, contoh: kalangan selebriti dan pengusaha. Tertutupnya kesempatan masyarakat kader handal dan berkualitas untuk mengikuti kontestasi, karena roda kekuasaan partai berputar dikalangan elit dan pengusaha. Maka, muncul kepentingan dalam menjalankan tugas/pekerjaan. Dengan politik dinasti kontrol kekuasaan pun melemah dan tidak berjalan efektif. Akibat dari politik dinasti ini, banyak pemimpin daerah menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam sistem pemerintahan. Berpeluang sangat besar jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi di berbagai lini, seperti: sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD. Sulit mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Masih hangat dalam ingatan, tahun 2020 lalu bangsa ini baru saja melaksanakan pemilihan secara serentak untuk 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Mereka yang berhasil memenangkan pemilihan terdapat beberapa yang berasal dari ikatan atau pertalian emosional dengan para pejabat, tokoh, juga politisi, dan bukan lagi menjadi rahasia umum. Namun tak sedikit pula yang berjalan sendiri tanpa campur tangan pertalian Pemimpin yang arif dan bijak adalah dambaan setiap masyarakat, maka untuk mewujudkannya para pemilih meski cerdas menyikapi setiap perkembangan yang terjadi di saat seluruh tahapan pemilihan dilakukan dari awal sampi akhir. Masyarakat hendaknya bersama-sama mengawal demokrasi agar selaras dengan asas dan tak cedera. Semua anak bangsa bebas berkiprah dan mengabdi secara wajar dan objektif tanpa perbedaan keturunan, juga suku bangsa, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI). Dan, mempunyai hak yang sama di depan hukum untuk menduduki suatu jabatan. Dengan demikian, dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di negara kita, sebab Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Tak harus biru darah untuk menjadi seorang pemimpin, namun sejatinya ia seorang yang mempunyai tanggungjawab untuk daerah yang dipimpinnya. Lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingna pribadi dan golongan. (*)


Selengkapnya